suporter Indonesia. seperti suporter di dunia yang lainnya. mereka datang untuk mendukung tim sepak bola kesayangan. banyak hal yang dilakukan para suporter ini entah itu dari hal positif maupun hal negatif.
sudah tidak heran lagi kalo suporter di Indonesia ini adalah suporter yang sangat fanatik, memang sama dengan yang ada di Eropa maupun Amerika latin sana. Namun ada perbedaan yang sangat mencolok dari para suporter Indonesia ini dengan yang ada di luar sana.
kita lihat suporter kita dulu.
Tawuran :
1. Aremania Vs Bonek:
Entah kapan konflik dan rivalitas antar suporter yang nota bandnya
adalah kota yang saling berdekatan ini mulai muncul, sebelum TS lahirpun
rivalitas antar dua kubu suporter ini memang sudah terjadi hingga
menyebabkan korban jiwa bagi keduanya. Dari beberapa artikel yang admin
baca, rivalitas dan konflik yang terjadi antara Aremania vs Bonek Mania
adalah “gengsi daerah”, masing-masing menganggap kotanya lebih kuat dan
lebih hebat.
Berbicara masalah persaingan dan rivalitas dua elemen suporter di Jawa
Timur ini, maka kita tidak dapat mengesampingkan sejarah dan kultur
sosial masyarakat masing-masing kota. Malang yang secara demografis
adalah sebuah kota yang ada di pinggiran gunung, dimana
pembangunan-pembangunan yang dilakukan sejak pemerintahan kolonial
Hindia Belanda hingga zaman Orde Baru membawa kemajuan yang sangat pesat
bagi kota ini. Kemajuan yang membuat masyarakatnya merasa mampu untuk
menyaingi kota metropolitin sekelas Surabaya. Surabaya yang selalu
dianggap ‘number one’ dalam berbagai kondisi membuat masyarakat Malang
tidak terima dan menganggap arek Suroboyo adalah saingan utama mereka.
Dalam tataran propinsi misalnya, dimana Malang merupakan kota kedua
setelah Surabaya. Hal ini memicu kecemburuan sosial yang sangat tinggi
oleh arek Malang terhadap arek Suroboyo .
Kondisi ‘tidak mau kalah’ ini membuat suhu konflik Malang-Surabaya
begitu panas. Begitu juga dengan sepakbola, dimana suporter asal Malang
selalu berusaha menyaingi suporter asal Surabaya.Jika Bonek Mania
dikenal dengan sebutan Bondho duwit, sedangkan Aremania Bondho duit.
Adapula jika Bonek Mania menebarkan virus permusuhan, sedangkan Aremania
menyebarkan antivirusnya yakni aroma perdamaian.
Rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan,
tetapi juga dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya.
Bonekmania, di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti
akan menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Begitu pula
Aremania, di kala pertandingan kandangnya juga sering menghujat
Bonek.Hingga saat ini pun, kata ‘DAMAI’ belum bisa tercapai antar kedua
eleme kelompok suporter ini, Mungkin benar kata orang, Aremania dan
Bonekmania adalah musuh abadi.
2. The Jak Vs Viking:
TS sendiri tidak mengetahui dengan jelas, kapan awal perseturuan antar
kedua kelompok suporter besar di Indonesia ini saling berkonflik.
Menurut artikel yang TS baca, rivalitas keduanya dimulai pada tahun 2000
yang bertepatan dengan berlansungnya Liga Indonesia VI. Saat itu
pertandingan antara Persib Bandung vs Persija Jakarta, The Jackmania
yang akan mendukung tim pujaannya bertanding di stadion Siliwangi,
Bandung menerima perlakuan tidak enak dari oknum bobotoh karena alasan,
bobotoh mereka juga diperlakukan dengan tidak simpatik di Jakarta ketika
menyaksikan pertandingan Persijatim vs Persib di Lebak Bulus, The
Jackmania pun akhirnya tidak bisa masuk ke dalam stadion Siliwangi,
Bandung.
Ketika rombongan hendak pulang, tiba2 The Jakmania diserang lagi oleh
bobotoh yang masih nunggu di luar stadion. Kondisi ini jelas tidak bisa
diterima oleh The Jakmania. Sudah ga bisa masuk masih juga diserang.
Akhirnya The Jakmania balas perlakuan mereka (Oknum Bobotoh). Jumlah
bobotoh di luar stadion masih ratusan sehingga terjadilah bentrokan yang
mengakibatkan pecahnya kaca2 mobil akibat terkena lemparan dari kedua
kubu. Ketika polisi datang, keributan mereda dan the Jakmania mulai
beranjak pulang. Sempat pula terjadi bentrok beberapa kali ketika
rombongan berpapasan dengan bobotoh yang pulang karena tidak kebagian
tiket.
Sejak saat itulah api dendam dan permusuhan terus berkobar di kedua
belah pihak. Puncaknya di acara Kuis Siapa Berani di Indosiar. Acara ini
diprakarsai oleh Sigit Nugroho wartawan Bola yang terpilih menjadi
Ketua Asosiasi Suporter Seluruh Indonesia.
Kebodohan the jak terekspos keseluruh negeri ketika mereka tak berdaya
menghadapi Viking dalam kuis Siapa Berani. Kuis yang menguji wawasan dan
kemampuan berpikir. Itu merupakan edisi khusus kuis Siapa Berani, edisi
supporter sepak bola. Menghadirkan Viking, the jak, Pasoepati (Solo),
Aremania, dan ASI (Asosiasi Suporter Indonesia). Pemenangnya, Viking.
Perwakilan Viking berhasil melewati babak bonus dan berhak atas uang
tunai 10 juta rupiah. Seperti biasanya, rasa iri dari the jak muncul.
Malu dikalahkan di kotanya sendiri, ketua the jak saat itu, Ferry Indra
Syarif memukul Ali, seorang Viker yang menjadi pemenang kuis. Sungguh
perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang ketua. Ketuanya saja
begitu, apalagi anak buahnya?
Kejadian itu terjadi di kantin Indosiar, ketika dilangsungkannya acara
pemberian hadiah. Kontan keributan sempat terjadi, namun berhasil
diatasi. Kesirikan the jak tak sampai disitu. Mereka menghadang
rombongan Viking dalam perjalanan pulang menuju Bandung, tepatnya di
pintu tol Tomang. Anak-anak Bandung yang berjumlah 60 orang pulang
dengan menggunakan dua mobil Mitsubishi Colt milik Indosiar dan satu
mobil Dalmas milik kepolisian. Ketiga mobil ini dihadang sebuah Carry
abu-abu. Dua lolos, namun nahas bagi salah satu Mitsubishi Colt yang
ditumpangi para anggota Viking. Mobil itu terperangkap gerombolan the
jak. Kontan, mobil dirusak, Viking disiksa, dan uang para pendukung
pangeran biru itu pun dijarah. Termasuk handphone dan dompet mereka.
Tercatat sembilan anggota Viking mengalami luka-luka. Tiga diantaranya
terluka parah. Namun sayang, pihak kepolisian lamban dalam menyelesaikan
kasus ini. Termasuk dalam menangkap the jak yang merampok dan
menganiaya anggota Viking Persib Club.
Hingga saat ini perseteruan kedua kelompok supporter itu masih terus
berlanjut. Viking, yang memiliki anggota terbanyak di Indonesia,
memiliki kreatifitas tinggi, terbukti dengan julukan “Bandung kota mode,
musik, dan seniman” (bahkan the jak pun belanja ke Bandung), dengan the
jak yang memiliki title kota ibukota. Entah kapan ini berakhir…
Menarik sekali membahas pertemuan Persib dan Persija karena dua klub ini
merupakan dua klub legendaris dan memiliki sejarah besar sejak zaman
Perserikatan dulu. Aroma klasik dan dendam selalu mewarnai pertandingan
ini. Mungkin tensi pertandingan ini setara dengan Inter vs Juventus di
Serie-A atau Barcelona vs Real Madrid di La Liga.
3. Benteng Viola Vs Benteng Mania:
Mungkin dari beberapa rivalitas suporter yang ada di persepakbolaan
Indonesia, konflik dan rivalitas antara Benteng Viola vs Benteng Mania
adalah paling miris
,
mengapa TS sebut demikian karena kedua elemen suporter ini sama-sama
berasal dari Tanggerang alias derby Tangerang bedanya hanya pada klub
yang mereka dukung. Jika Benteng Viola mendukung Persita Tanggerang,
sedangkan Benteng Mania mendukung Persikota Tangerang. Disetiap
pertangdingan baik Persikota atau Persita, Benteng mania dan Viola
Extrim selalu terlibat tawuran disekitar stadion, sehingga membuat arus
kendaraan menjadi tersendat dan mengganggu warga sekitar stadion.
4.
Persik Mania vs Aremania:
Sepakbola di Jawa Timur memang panas, apalagi jika ada pertandingan big
match derby jatim pastilah di tunggu-tunggu tuh pertandingan, selain adu
gengsi antar klub Jawa Timur, juga pembuktian siapa klub terkuat di
Jawa Timur. Selain itu juga rivalitas suporter, dan sekarang saatnya
mendalami rivalitas antara kedua elemen suporter yakni Persikmania vs
Aremania. Dari informasi yang TS baca, asal mula permusuhan antara
Aremania vs Persikmania terjadi setelah manager tim Arema saat itu, Iwan
Budianto melakukan penggembosan habis-habisaan di tim Arema. Saat itu
Arema yang bermain di divisi utama yang berjalan kurang dari sebulan,
Iwan Budianto melakukan migrasi ke persik dengan membawa beberapa pilar
penting AREMA ke Persik Kediri yang saat itu berlaga di Divisi I dan
bisa membuat Persik Juara Divisi I dan otomatis promosi ke Divisi Utama.
Konflik berawal dari pertandingan antara Persik Kediri vs Arema,
aremania datang dengan jumlah yang buanyak melebihi batas yang
ditentukan panpel, lalu banyak yang masuk stadion Tidak membayar,
Stadion Brawijaya banjir suporter baik dari malang maupun tuan rumah
kediri. Singkat cerita PERSIK unggul 1-0 Arema. Hal ini membuat ribuan
AREMANIA yang menempati tribun selatan gak terima trus melempari pemain,
ternyata lama kelamaan gak hanya pemain yang dilempar tapi kerusuhan
menjalar jadi bentok antar suporter AREMANIA VS PERSIK MANIA, hingga
banyak jatuh korban dan diteruskan di luar stadion dan sepanjang jalur
Kediri – Malang. Sejak kejadian itulah hubungan AREMANIA dan PERSIK
MANIA sedikit memanas, tapi itu durung puncak dari pertikaian kedua kubu
tersebut. Tepat pada tanggal 17 Januari 2008 di stadion BRAWIJAYA di
gelar babak penyelisihan 8 besar. Saat itu AREMA Vs PERSIWA bermain di
Stadion BRAWIJAYA, sebelum AREMA bermain AREMANIA sudah memenuhi TRIBUN
timur stadion Brawijaya.
4.
Sleman vs Solo :
BCS dan Pasoepati
Slemania dan Pasoepati
Saya tidak tau kapan tepatnya mereka saling bermusuhan. padahal hanya bertetangga kota. tapi memang pertandingan antara PSS Sleman dengan Persis Solo selalu panas. entah itu di luar maupun di dalam lapangan.
Suporter kita selalu tawuran di dalam lapangan yang jelas jelas sangat merugikan dari pihak pemkot sendiri karena harus mengeluarkan dana untuk memperbaiki fasilitas yang ada dan bisa juga ladang ini untuk korupsi.
memang ada suporter luar negeri yang tawuran didalam lapangan tapi itu tidak lah sesering suporter kita. bahkan tidak jarang ada suporter yang terbunuh. untuk suporter kita membunuh suporter lain adalah kebanggaan selayaknya Tuhan karena bisa menghilangkan nyawa seseorang. memang tidak bisa dipungkiri lagi kalo manusia sekarang banyak yang berjiwa psikopat ato pembunuh.
Tapi tahukah Anda apa perbedaan antara suporter di negara maju dengan di Indonesia?
Di Italia atau kawasan Eropa Timur, tawuran
suporter selalu memiliki penyebab dasar. Ada filosofi yang bermain di
sana. Misalnya antara suporter tim kawasan Utara yang makmur dengan
Selatan yang kèrè. Atau praktek paling umum adalah suporter dengan
aliran politik komunisme, misal Livorno, dengan rivalnya dari aliran
fasisme, contoh Lazio. Ada pula misalnya Katolik dengan Protestan. Atau
berbasis sektarian lainnya.
Di Serbia, perseteruan suporter Red Star
dengan Partizan juga bermuatan politis perebutan kekuasaan. Red Star
didukung tentara, Partizan didukung polisi. Sementara di Prancis,
kerusuhan suporter bisa dipicu oleh masalah rasial. Terutama oleh
suporter Paris Saint Germain yang kebanyakan anak muda berdarah Tunisia
atau Aljazair. Tindakan keras polisi pada kaum minoritas itu bisa
membangkitkan kerusuhan kota, seperti di awal musim Ligue 1 kemarin
dulu.
Tapi di Indonesia, kerusuhan suporter nyaris tak ada pertentangan
filosofi atau kecemburuan apapun — meski juga tak harus punya prinsip
politis dan sejenisnya –, kecuali soal dendam turun temurun yang bahkan
asal muasalnya pun sudah gelap atau tak jelas dan belum tentu diketahui
generasi suporter yang lebih muda. Yang terjadi di Liga Indonesia
seakan-akan hanya satu pemicunya;
“Tim saya harus menang”. Jika kemenangan tak terwujud, mari kita bikin kerusuhan.
Tragis sekali.
Di negara barat, suporter juga tak punya nama khusus hingga menjadi
sebuah organisasi. Yang ada misalnya asosiasi suporter. Dan itu pun
tanpa nama khusus. Pengecualian terjadi di Eropa Timur atau Brasil. Itu
pun terkait faktor sosial politik. Betul, memang ada sebutan untuk
pendukung Inter Milan, Real Madrid, AC Milan, Juventus, Liverpool dan
sebagainya. Tapi sebutan itu kerap kali datang dari pers dan berangkat
dari sebuah sejarah sosiologi kemasyarakatan setempat. Bukan disengaja
dibuat oleh suporter terkait.
Namun di Indonesia, suporter justru berlomba-lomba membuat nama.
Silahkan sebut mulai dari Aremania, JakMania, Viking, BonekMania dan
daftar akan makin panjang. Bahkan, lucunya, mayoritas kelompok suporter
itu punya struktur organisasi mulai dari ketua sampai koordinator
lapangan. Ini tidak salah, namun berpeluang kontraproduktif. Memancing
di air keruh sangat mungkin terjadi. Mereka yang tergabung dalam
organisasi umumnya berniat baik, agar mudah mendapatkan tiket dan
sebagainya. Namun niat baik itu seringkali dirusak oleh mereka yang baru
melek dan bau kencur itu.
Pendukung sepakbola di Indonesia juga masih
lebay. Coba Anda masuk ke situs-situs berita dan lihat kolom komentar. Anda bisa temukan komentar model begini:
“Ayo Internisti, jangan mau kalah sama Roma”, “Tetap semangat Juventini
walau kau kemarin kalah”, “The Jak, beli dong pemain yang bagus”.
Benar-benar aneh, kapan Internisti, Juventini atau The Jak punya klub
sepakbola dan bermain di kompetisi reguler? Sebagian suporter di
Indonesia belum bisa membedakan mana tim dan mana suporter.
Itu belum termasuk komentar-komentar miring dan kasar yang patut
masuk dalam jaring moderasi. Di luar negeri, memang ada pula komentar
kasar seperti itu. Terutama di Eropa Timur yg beraliran politik tertentu
tadi.
Lihat bagaimana suporter Manchester United menyindir rivalnya dari
Manchester City dengan cara memasang spanduk bertuliskan jumlah gelar
“Setan Merah”. Atau simak komentar pendukung MU ketika timnya memukul
City:
“Shame on them”. Pendukung Chelsea pun hanya bernyanyi untuk menyindir Liverpool:
“Lihat itu Merseyside, lihatlah kami.” Cuma sampai di situ.
Tak ada kata atau lagu “Bantai si A…hancurkan si B”
dan seterusnnya. Tak ada pula suporter MU yang akan menyebut Chelsea
dengan sebutan Chelshit, misalnya. Atau suporter Everton menyebut
Liverpool dengan istilah Liverfool. Tentu saja, satu-dua kasus ada, tapi
bukan membudaya. Bukan kebiasaan.
Suporter di Indonesia justru seperti gangster, seperti halnya di
Brasil atau Eropa Timur. Tapi di Indonesia masih berbeda, karena tak ada
filosofi apapun di balik pembentukan kelompok itu. Mereka hanya membuat
kelompok saja. Mereka ingin “bermain” juga. Jadi jangan heran kalau
lihat ada suporter sebuah tim di Liga Indonesia terjaring razia karena
membawa senjata tajam. Jangan kaget pula jika ada tawuran antara
suporter dengan masyarakat di satu kawasan kota. Ini terjadi karena
suporter masih bermental gangster.
Parahnya, menurut pengamatan saya, mereka
bukanlah penggemar sepakbola sejati. Mereka hanya menumpang keramaian
seperti halnya anak-anak muda yang bikin rusuh di konser musik. Mereka
bukan penikmat musik sejati. Bahkan peta persaingannya melebar hanya
kepada pertarungan antar kelompok saja — entah ada bola atau tidak. Anda
bisa temukan kaos ukuran anak kecil dengan suara suporter Jakarta yang
isinya sangat memprovokasi rivalnya di Bandung.
Lagi, tragis sekali.
Satu hal yang pasti, kerusuhan sepakbola selalu bisa menjadi salah
satu penyebab kemunduran prestasi tim atau kompetisi tertentu. Lihat
bagaimana Italia tak lagi menjadi kompetisi antar klub yang disegani.
Juga Red Star tak pernah lagi bermain di Liga Champions, padahal mereka
pernah juara di ajang elite itu. Brasil menjadi pengecualian karena
bakat alam para pemainnya mampu mengatasi tekanan dari kerusuhan
suporternya.
Untuk apa kita harus meniru yang buruk? Ada
banyak pilihan untuk meniru yang baik walaupun keributan dan
gontok-gontokan dalam sepakbola adalah hal biasa.
Kerusuhan suporter di Indonesia punya
banyak sebab. Yang paling utama, tak ada sanksi yang bisa membuat jera.
Padahal semua bisa dicari solusinya seperti Inggris memberangus
Hooliganisme. Lebih runyam lagi, sanksi sosial di Indonesia belum sebaik
di negara maju. Akhirnya masyarakat yang belum dewasa menjadi asal
muasal suporter. Masyarakat yang gemar tawuran, tentu akan menjadi
suporter yang senang berantem pula. Ironisnya, pengelola sepakbola dan
kompetisi pun tak mampu berbuat apa-apa. Klub pun cuma sebatas
mengimbau.
Suporter di manapun punya tugas mendukung tim, bukan mengintimidasi
(suporter) lawan dengan tindakan berlebihan. Bukan dengan menyanyikan
lagu-lagu yang bernada rasis atau penghinaan di titik nadir. Entah
mengapa sulit sekali untuk tidak menghina. Entah mengapa tidak fokus
pada tindakan untuk memberi semangat tim idola mereka saja. Soal itu,
hanya suporter sendiri yang bisa menjawabnya.
Sumber :
Coba bandingkan dengan hal ini :
Luar negeri :
Indonesia :
Kalo ada yang mau nambahin koreo dari suporter lain monggo.
Sumber :
enak lihat mana gan??
koreo dengan Flare dan Kertas Rol atau tawuran membunuh orang??