Tuesday, November 12, 2013

Aksi Suporter lebih baik bernyanyi,kertas Rool dan Flare atau lebih baik saling bunuh antar suporter??

suporter Indonesia. seperti suporter di dunia yang lainnya. mereka datang untuk mendukung tim sepak bola kesayangan. banyak hal yang dilakukan para suporter ini entah itu dari hal positif maupun hal negatif.

sudah tidak heran lagi kalo suporter di Indonesia ini adalah suporter yang sangat fanatik, memang sama dengan yang ada di Eropa maupun Amerika latin sana. Namun ada perbedaan yang sangat mencolok dari para suporter Indonesia ini dengan yang ada di luar sana.

kita lihat suporter kita dulu.

Tawuran :
1. Aremania Vs Bonek:

 Entah kapan konflik dan rivalitas antar suporter yang nota bandnya adalah kota yang saling berdekatan ini mulai muncul, sebelum TS lahirpun rivalitas antar dua kubu suporter ini memang sudah terjadi hingga menyebabkan korban jiwa bagi keduanya. Dari beberapa artikel yang admin baca, rivalitas dan konflik yang terjadi antara Aremania vs Bonek Mania adalah “gengsi daerah”, masing-masing menganggap kotanya lebih kuat dan lebih hebat.

Berbicara masalah persaingan dan rivalitas dua elemen suporter di Jawa Timur ini, maka kita tidak dapat mengesampingkan sejarah dan kultur sosial masyarakat masing-masing kota. Malang yang secara demografis adalah sebuah kota yang ada di pinggiran gunung, dimana pembangunan-pembangunan yang dilakukan sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga zaman Orde Baru membawa kemajuan yang sangat pesat bagi kota ini. Kemajuan yang membuat masyarakatnya merasa mampu untuk menyaingi kota metropolitin sekelas Surabaya. Surabaya yang selalu dianggap ‘number one’ dalam berbagai kondisi membuat masyarakat Malang tidak terima dan menganggap arek Suroboyo adalah saingan utama mereka. Dalam tataran propinsi misalnya, dimana Malang merupakan kota kedua setelah Surabaya. Hal ini memicu kecemburuan sosial yang sangat tinggi oleh arek Malang terhadap arek Suroboyo .

Kondisi ‘tidak mau kalah’ ini membuat suhu konflik Malang-Surabaya begitu panas. Begitu juga dengan sepakbola, dimana suporter asal Malang selalu berusaha menyaingi suporter asal Surabaya.Jika Bonek Mania dikenal dengan sebutan Bondho duwit, sedangkan Aremania Bondho duit. Adapula jika Bonek Mania menebarkan virus permusuhan, sedangkan Aremania menyebarkan antivirusnya yakni aroma perdamaian.
Rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan, tetapi juga dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya. Bonekmania, di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti akan menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Begitu pula Aremania, di kala pertandingan kandangnya juga sering menghujat Bonek.Hingga saat ini pun, kata ‘DAMAI’ belum bisa tercapai antar kedua eleme kelompok suporter ini, Mungkin benar kata orang, Aremania dan Bonekmania adalah musuh abadi.

 2. The Jak Vs Viking:

 TS sendiri tidak mengetahui dengan jelas, kapan awal perseturuan antar kedua kelompok suporter besar di Indonesia ini saling berkonflik. Menurut artikel yang TS baca, rivalitas keduanya dimulai pada tahun 2000 yang bertepatan dengan berlansungnya Liga Indonesia VI. Saat itu pertandingan antara Persib Bandung vs Persija Jakarta, The Jackmania yang akan mendukung tim pujaannya bertanding di stadion Siliwangi, Bandung menerima perlakuan tidak enak dari oknum bobotoh karena alasan, bobotoh mereka juga diperlakukan dengan tidak simpatik di Jakarta ketika menyaksikan pertandingan Persijatim vs Persib di Lebak Bulus, The Jackmania pun akhirnya tidak bisa masuk ke dalam stadion Siliwangi, Bandung.

Ketika rombongan hendak pulang, tiba2 The Jakmania diserang lagi oleh bobotoh yang masih nunggu di luar stadion. Kondisi ini jelas tidak bisa diterima oleh The Jakmania. Sudah ga bisa masuk masih juga diserang. Akhirnya The Jakmania balas perlakuan mereka (Oknum Bobotoh). Jumlah bobotoh di luar stadion masih ratusan sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan pecahnya kaca2 mobil akibat terkena lemparan dari kedua kubu. Ketika polisi datang, keributan mereda dan the Jakmania mulai beranjak pulang. Sempat pula terjadi bentrok beberapa kali ketika rombongan berpapasan dengan bobotoh yang pulang karena tidak kebagian tiket.

Sejak saat itulah api dendam dan permusuhan terus berkobar di kedua belah pihak. Puncaknya di acara Kuis Siapa Berani di Indosiar. Acara ini diprakarsai oleh Sigit Nugroho wartawan Bola yang terpilih menjadi Ketua Asosiasi Suporter Seluruh Indonesia.

Kebodohan the jak terekspos keseluruh negeri ketika mereka tak berdaya menghadapi Viking dalam kuis Siapa Berani. Kuis yang menguji wawasan dan kemampuan berpikir. Itu merupakan edisi khusus kuis Siapa Berani, edisi supporter sepak bola. Menghadirkan Viking, the jak, Pasoepati (Solo), Aremania, dan ASI (Asosiasi Suporter Indonesia). Pemenangnya, Viking. Perwakilan Viking berhasil melewati babak bonus dan berhak atas uang tunai 10 juta rupiah. Seperti biasanya, rasa iri dari the jak muncul. Malu dikalahkan di kotanya sendiri, ketua the jak saat itu, Ferry Indra Syarif memukul Ali, seorang Viker yang menjadi pemenang kuis. Sungguh perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang ketua. Ketuanya saja begitu, apalagi anak buahnya?

Kejadian itu terjadi di kantin Indosiar, ketika dilangsungkannya acara pemberian hadiah. Kontan keributan sempat terjadi, namun berhasil diatasi. Kesirikan the jak tak sampai disitu. Mereka menghadang rombongan Viking dalam perjalanan pulang menuju Bandung, tepatnya di pintu tol Tomang. Anak-anak Bandung yang berjumlah 60 orang pulang dengan menggunakan dua mobil Mitsubishi Colt milik Indosiar dan satu mobil Dalmas milik kepolisian. Ketiga mobil ini dihadang sebuah Carry abu-abu. Dua lolos, namun nahas bagi salah satu Mitsubishi Colt yang ditumpangi para anggota Viking. Mobil itu terperangkap gerombolan the jak. Kontan, mobil dirusak, Viking disiksa, dan uang para pendukung pangeran biru itu pun dijarah. Termasuk handphone dan dompet mereka. Tercatat sembilan anggota Viking mengalami luka-luka. Tiga diantaranya terluka parah. Namun sayang, pihak kepolisian lamban dalam menyelesaikan kasus ini. Termasuk dalam menangkap the jak yang merampok dan menganiaya anggota Viking Persib Club.

Hingga saat ini perseteruan kedua kelompok supporter itu masih terus berlanjut. Viking, yang memiliki anggota terbanyak di Indonesia, memiliki kreatifitas tinggi, terbukti dengan julukan “Bandung kota mode, musik, dan seniman” (bahkan the jak pun belanja ke Bandung), dengan the jak yang memiliki title kota ibukota. Entah kapan ini berakhir…

Menarik sekali membahas pertemuan Persib dan Persija karena dua klub ini merupakan dua klub legendaris dan memiliki sejarah besar sejak zaman Perserikatan dulu. Aroma klasik dan dendam selalu mewarnai pertandingan ini. Mungkin tensi pertandingan ini setara dengan Inter vs Juventus di Serie-A atau Barcelona vs Real Madrid di La Liga.

 3. Benteng Viola Vs Benteng Mania:




 Mungkin dari beberapa rivalitas suporter yang ada di persepakbolaan Indonesia, konflik dan rivalitas antara Benteng Viola vs Benteng Mania adalah paling miris , mengapa TS sebut demikian karena kedua elemen suporter ini sama-sama berasal dari Tanggerang alias derby Tangerang bedanya hanya pada klub yang mereka dukung. Jika Benteng Viola mendukung Persita Tanggerang, sedangkan Benteng Mania mendukung Persikota Tangerang. Disetiap pertangdingan baik Persikota atau Persita, Benteng mania dan Viola Extrim selalu terlibat tawuran disekitar stadion, sehingga membuat arus kendaraan menjadi tersendat dan mengganggu warga sekitar stadion.

4. Persik Mania vs Aremania:




 Sepakbola di Jawa Timur memang panas, apalagi jika ada pertandingan big match derby jatim pastilah di tunggu-tunggu tuh pertandingan, selain adu gengsi antar klub Jawa Timur, juga pembuktian siapa klub terkuat di Jawa Timur. Selain itu juga rivalitas suporter, dan sekarang saatnya mendalami rivalitas antara kedua elemen suporter yakni Persikmania vs Aremania. Dari informasi yang TS baca, asal mula permusuhan antara Aremania vs Persikmania terjadi setelah manager tim Arema saat itu, Iwan Budianto melakukan penggembosan habis-habisaan di tim Arema. Saat itu Arema yang bermain di divisi utama yang berjalan kurang dari sebulan, Iwan Budianto melakukan migrasi ke persik dengan membawa beberapa pilar penting AREMA ke Persik Kediri yang saat itu berlaga di Divisi I dan bisa membuat Persik Juara Divisi I dan otomatis promosi ke Divisi Utama. Konflik berawal dari pertandingan antara Persik Kediri vs Arema, aremania datang dengan jumlah yang buanyak melebihi batas yang ditentukan panpel, lalu banyak yang masuk stadion Tidak membayar, Stadion Brawijaya banjir suporter baik dari malang maupun tuan rumah kediri. Singkat cerita PERSIK unggul 1-0 Arema. Hal ini membuat ribuan AREMANIA yang menempati tribun selatan gak terima trus melempari pemain, ternyata lama kelamaan gak hanya pemain yang dilempar tapi kerusuhan menjalar jadi bentok antar suporter AREMANIA VS PERSIK MANIA, hingga banyak jatuh korban dan diteruskan di luar stadion dan sepanjang jalur Kediri – Malang. Sejak kejadian itulah hubungan AREMANIA dan PERSIK MANIA sedikit memanas, tapi itu durung puncak dari pertikaian kedua kubu tersebut. Tepat pada tanggal 17 Januari 2008 di stadion BRAWIJAYA di gelar babak penyelisihan 8 besar. Saat itu AREMA Vs PERSIWA bermain di Stadion BRAWIJAYA, sebelum AREMA bermain AREMANIA sudah memenuhi TRIBUN timur stadion Brawijaya.

 4. Sleman vs Solo :


\
 BCS dan Pasoepati


Slemania dan Pasoepati 

Saya tidak tau kapan tepatnya mereka saling bermusuhan. padahal hanya bertetangga kota. tapi memang pertandingan antara PSS Sleman dengan Persis Solo selalu panas. entah itu di luar maupun di dalam lapangan.

Suporter kita selalu tawuran di dalam lapangan yang jelas jelas sangat merugikan dari pihak pemkot sendiri karena harus mengeluarkan dana untuk memperbaiki fasilitas yang ada dan bisa juga ladang ini untuk korupsi.

memang ada suporter luar negeri yang tawuran didalam lapangan tapi itu tidak lah sesering suporter kita. bahkan tidak jarang ada suporter yang terbunuh. untuk suporter kita membunuh suporter lain adalah kebanggaan selayaknya Tuhan karena bisa menghilangkan nyawa seseorang. memang tidak bisa dipungkiri lagi kalo manusia sekarang banyak yang berjiwa psikopat ato pembunuh.


Tapi tahukah Anda apa perbedaan antara suporter di negara maju dengan di Indonesia?
Di Italia atau kawasan Eropa Timur, tawuran suporter selalu memiliki penyebab dasar. Ada filosofi yang bermain di sana. Misalnya antara suporter tim kawasan Utara yang makmur dengan Selatan yang kèrè. Atau praktek paling umum adalah suporter dengan aliran politik komunisme, misal Livorno, dengan rivalnya dari aliran fasisme, contoh Lazio. Ada pula misalnya Katolik dengan Protestan. Atau berbasis sektarian lainnya.

Di Serbia, perseteruan suporter Red Star dengan Partizan juga bermuatan politis perebutan kekuasaan. Red Star didukung tentara, Partizan didukung polisi. Sementara di Prancis, kerusuhan suporter bisa dipicu oleh masalah rasial. Terutama oleh suporter Paris Saint Germain yang kebanyakan anak muda berdarah Tunisia atau Aljazair. Tindakan keras polisi pada kaum minoritas itu bisa membangkitkan kerusuhan kota, seperti di awal musim Ligue 1 kemarin dulu.

Tapi di Indonesia, kerusuhan suporter nyaris tak ada pertentangan filosofi atau kecemburuan apapun — meski juga tak harus punya prinsip politis dan sejenisnya –, kecuali soal dendam turun temurun yang bahkan asal muasalnya pun sudah gelap atau tak jelas dan belum tentu diketahui generasi suporter yang lebih muda. Yang terjadi di Liga Indonesia seakan-akan hanya satu pemicunya; “Tim saya harus menang”. Jika kemenangan tak terwujud, mari kita bikin kerusuhan.

Tragis sekali.

Di negara barat, suporter juga tak punya nama khusus hingga menjadi sebuah organisasi. Yang ada misalnya asosiasi suporter. Dan itu pun tanpa nama khusus. Pengecualian terjadi di Eropa Timur atau Brasil. Itu pun terkait faktor sosial politik. Betul, memang ada sebutan untuk pendukung Inter Milan, Real Madrid, AC Milan, Juventus, Liverpool dan sebagainya. Tapi sebutan itu kerap kali datang dari pers dan berangkat dari sebuah sejarah sosiologi kemasyarakatan setempat. Bukan disengaja dibuat oleh suporter terkait.

Namun di Indonesia, suporter justru berlomba-lomba membuat nama. Silahkan sebut mulai dari Aremania, JakMania, Viking, BonekMania dan daftar akan makin panjang. Bahkan, lucunya, mayoritas kelompok suporter itu punya struktur organisasi mulai dari ketua sampai koordinator lapangan. Ini tidak salah, namun berpeluang kontraproduktif. Memancing di air keruh sangat mungkin terjadi. Mereka yang tergabung dalam organisasi umumnya berniat baik, agar mudah mendapatkan tiket dan sebagainya. Namun niat baik itu seringkali dirusak oleh mereka yang baru melek dan bau kencur itu.

Pendukung sepakbola di Indonesia juga masih lebay. Coba Anda masuk ke situs-situs berita dan lihat kolom komentar. Anda bisa temukan komentar model begini: “Ayo Internisti, jangan mau kalah sama Roma”, “Tetap semangat Juventini walau kau kemarin kalah”, “The Jak, beli dong pemain yang bagus”. Benar-benar aneh, kapan Internisti, Juventini atau The Jak punya klub sepakbola dan bermain di kompetisi reguler? Sebagian suporter di Indonesia belum bisa membedakan mana tim dan mana suporter.

Itu belum termasuk komentar-komentar miring dan kasar yang patut masuk dalam jaring moderasi. Di luar negeri, memang ada pula komentar kasar seperti itu. Terutama di Eropa Timur yg beraliran politik tertentu tadi.

Lihat bagaimana suporter Manchester United menyindir rivalnya dari Manchester City dengan cara memasang spanduk bertuliskan jumlah gelar “Setan Merah”. Atau simak komentar pendukung MU ketika timnya memukul City: “Shame on them”. Pendukung Chelsea pun hanya bernyanyi untuk menyindir Liverpool: “Lihat itu Merseyside, lihatlah kami.” Cuma sampai di situ.

Tak ada kata atau lagu “Bantai si A…hancurkan si B” dan seterusnnya. Tak ada pula suporter MU yang akan menyebut Chelsea dengan sebutan Chelshit, misalnya. Atau suporter Everton menyebut Liverpool dengan istilah Liverfool. Tentu saja, satu-dua kasus ada, tapi bukan membudaya. Bukan kebiasaan.

Suporter di Indonesia justru seperti gangster, seperti halnya di Brasil atau Eropa Timur. Tapi di Indonesia masih berbeda, karena tak ada filosofi apapun di balik pembentukan kelompok itu. Mereka hanya membuat kelompok saja. Mereka ingin “bermain” juga. Jadi jangan heran kalau lihat ada suporter sebuah tim di Liga Indonesia terjaring razia karena membawa senjata tajam. Jangan kaget pula jika ada tawuran antara suporter dengan masyarakat di satu kawasan kota. Ini terjadi karena suporter masih bermental gangster.

Parahnya, menurut pengamatan saya, mereka bukanlah penggemar sepakbola sejati. Mereka hanya menumpang keramaian seperti halnya anak-anak muda yang bikin rusuh di konser musik. Mereka bukan penikmat musik sejati. Bahkan peta persaingannya melebar hanya kepada pertarungan antar kelompok saja — entah ada bola atau tidak. Anda bisa temukan kaos ukuran anak kecil dengan suara suporter Jakarta yang isinya sangat memprovokasi rivalnya di Bandung.

Lagi, tragis sekali.

Satu hal yang pasti, kerusuhan sepakbola selalu bisa menjadi salah satu penyebab kemunduran prestasi tim atau kompetisi tertentu. Lihat bagaimana Italia tak lagi menjadi kompetisi antar klub yang disegani. Juga Red Star tak pernah lagi bermain di Liga Champions, padahal mereka pernah juara di ajang elite itu. Brasil menjadi pengecualian karena bakat alam para pemainnya mampu mengatasi tekanan dari kerusuhan suporternya.

Untuk apa kita harus meniru yang buruk? Ada banyak pilihan untuk meniru yang baik walaupun keributan dan gontok-gontokan dalam sepakbola adalah hal biasa.

Kerusuhan suporter di Indonesia punya banyak sebab. Yang paling utama, tak ada sanksi yang bisa membuat jera. Padahal semua bisa dicari solusinya seperti Inggris memberangus Hooliganisme. Lebih runyam lagi, sanksi sosial di Indonesia belum sebaik di negara maju. Akhirnya masyarakat yang belum dewasa menjadi asal muasal suporter. Masyarakat yang gemar tawuran, tentu akan menjadi suporter yang senang berantem pula. Ironisnya, pengelola sepakbola dan kompetisi pun tak mampu berbuat apa-apa. Klub pun cuma sebatas mengimbau.

Suporter di manapun punya tugas mendukung tim, bukan mengintimidasi (suporter) lawan dengan tindakan berlebihan. Bukan dengan menyanyikan lagu-lagu yang bernada rasis atau penghinaan di titik nadir. Entah mengapa sulit sekali untuk tidak menghina. Entah mengapa tidak fokus pada tindakan untuk memberi semangat tim idola mereka saja. Soal itu, hanya suporter sendiri yang bisa menjawabnya.

Sumber :


Coba bandingkan dengan hal ini :

Luar negeri :




Indonesia :




Kalo ada yang mau nambahin koreo dari suporter lain monggo.

Sumber :


enak lihat mana gan??
koreo dengan Flare dan Kertas Rol atau tawuran membunuh orang??






Share:

0 komentar:

Post a Comment

No Junk, Spam, Sara, Bullying :)

Popular Posts

Total Pageviews

Search This Blog

336x280.id
Spesial Ramadhan
 
loading...